Pedoman Usang

Ilustrasi: ijaazah.com

Oleh, Lena Sa`yati*

“Sesungguhnya orang-orang yang selalu membaca kitab Allah dan mengerjakan salat dan menafkahkan sebahagian dari rezeki yang Kami anugerahkan kepada mereka dengan diam-diam dan terang-terangan, mereka itu mengharapkan perniagaan yang tidak akan merugi, agar Allah menyempurnakan kepada mereka pahala mereka dan menambah kepada mereka dari karunia-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Mensyukuri”.

(Faathir:29-30).

Malam ini lantai masjid begitu dingin. Angin malam berhasil menyusup dari bolong jendela hingga bersepoyan menyapu lembut pipiku yang basah air wudhu. Sesekali bahuku bergidik kedinginan. Maka segera kuamparkan sejadah dan secepat mungkin duduk bersila di sana. Mataku menatap jam dinding bulat berwarna putih. Masih pukul 02.00 dini hari. Artinya, masih banyak waktu untuk menulis.

Tanganku mengaduk-aduk seluruh isi tas jinjing yang kutaruh disamping sejadah. Buku tulis, bolpoin dan berkas-berkas lain segera kukeluarkan dari dalamnya. Tak tahan lagi jemariku ingin menggenggam pena dan segera menari bersamanya di atas secarik kertas.

Bagiku, tiada waktu yang paling tenang untuk menjahit kata selain sepertiga malam. Saat semuanya terlelap, dingin menyegarkan, dan hening tanpa bisikan. Sempurna.

                “Bacalah quran dulu, harusnya itu yang kau lakukan di sini.” si putih kembali mengiangi gendang telingaku. Aku bahkan sampai menoleh ke samping kanan, saking kuatnya ujaran itu.

                “Pasti, pasti akan kubaca. Setelah satu cerita dapat kutamatkan.” Aku membalas meski terdengar layaknya berkilah.

                “Kemarin, kemarinnya dan kemarinnya lagi, kau selalu saja bilang begitu dan akhirnya malah ketiduran.”si Putih masih saja berkukuh.

                “Tidak, tidak dengan malam ini. Santai saja. Sudah, jangan ganggu aku lagi!” aku benar-benar terganggu karenanya. Dan sepertinya titahku ditaati. Ia tak lagi terngiang.

                Beres! Kini benaku fokus berkelana dalam fantasi yang kuciptakan sendiri, lalu menuangkannya dalam barisan aksara sastra.

@@@

                Lelah sekali tangan dan pikiranku. Menulis cerita sungguh menguras segalanya. Semangatku tinggal secuil untuk bangkit menjalankan shalat subuh. Sedang kulihat para jama’ah lain malah merasa semangat menjalankannya. Mataku benar-benar berat, entahlah bacaanku saat shalat pun betul apa tidak, yang penting gerakan imam seluruhnya kuturuti.

                “Buka matamu! Ingat janjimu! Kau belum mengaji Quran!” si Putih tiba-tiba saja mengagetkanku hingga seketika mataku terbelalak.

                “Assalamu’alaikum Warahmatullah..” Imam mengakhiri shalat. Aku segera mengikuti gerakan salamnya. Para jamaah lantas saling menyahut dengan bacaan dzikirnya. Bibirku ikut bergumam meski sayup-sayup. Ah, benar-benar ngantuk. Dan lensa penglihatan mataku mulai kabur, lalu gelap.

@@@

                Tidak ada satu pun cerita gubahanku yang diterima mereka. Kenapa? Padahal semuanya nampak bagus. Teman-temanku bahkan menyukainya! Apa mereka buta huruf? Sungguh tak dapat kupercaya. Tindakan gegabah orang-orang sombong itu membuatku murka. Aku bahkan tak tahu lagi harus menulis apa. Atau bahkan apakah masih ada semangat untuk menggoreskan tinta? Aku sudah tak karuan. Aku patah.

                “Tepati saja janjimu!” lagi-lagi si Putih so’ menasihati. Sungguh waktunya sangat tidak tepat. Di tengah keadaan terpuruk begini, ia malah terus menuntutku mengaji kalamullah. Tak peka!

                “Minggirlah kamu sana! Aku sedang frustasi!” aku meninggalkannya dengan kesal.

@@@

                Tak ada lagi sepertiga malam atau semilir angin yang membelai bulu kulitku lembut. Aku masih terjerembab dalam mimpi. Aku melihat jutaan manusia memunguti sesuatu. Tapi tak nampak apa pun yang mereka cari. Apa mungkin mereka gila?

                “Kau yang gila!” tiba-tiba saja si Putih menghardiku hingga badanku terperanjat kaget.

                “Jangan asal kalau bicara! Aku bukan orang gila!”

                “Apa lagi namanya kalau bukan gila? Bisa membaca dan menulis, tapi tak mau menelaah Quran. Kau pikir tulisanmu itu bagaimana jadinya jika tak pernah dibaca orang? Apa kau senang?”

                Si Putih mulai menampar batinku. Tentu saja aku akan kecewa jika tak ada satupun yang membaca tulisanku.

                “Orang yang membaca tulisanmu tidak akan mendapat apa-apa darimu! Tapi jika mereka membaca ayat Allah, pintu rejeki dan keberkahan hidup akan menghampiri. Begitu pun kau! Kau seharusnya tahu itu! Kau harusnya tahu megapa kerja kerasmu gagal!”

                Bak aliran petir yang mehyambar-nyambar bumi. Hatiku tersengat kata-katanya. Mengapa tak sampai ke sana pikiranku. Aku benar-benar telah tersesat.

                “Rabby, Maha pemberi Ampun. Aku berjanji apa yang kulakukan kemarin tidak akan terulang kemudian.” Dalam pasrah aku bersujud menengadahkan kepala dan tangan ke awan. Garis cahaya dari atasa mulai terang berjalan lurus menuju telapak tangankku yang kian kotor berkat dosa hitam yang kuperbuat. Kilauan cahaya putih itu seakan menyedot serpihan hitam dari diriku dan kembali redup seiring kepergiannya ke langit.

Maafkan aku yang Maha Kuasa. Akan kugamit lagi pedomanku yang usang itu. Sungguh. []

*Pembina Komunitas Kepenulisan Matapena Pesantren Condong

Community / Matapena    Dibaca 1.899x


Artikel Lainnya


Beri Komentar

  • TENTANG KAMI

    Majalah condong online seputar berita dan artikel tentang kajian/dunia islam, tips & inspiration, family, event, radio online, dll.

  • CONDONG-ONLINE.COM

  • Pengunjung Website