HARDIKNAS: Pendidikan Karakter Saja Belum Cukup! Part 2
Ilustrasi: Condong-online/Lena Sa`yati
Pendidikan karakter saja belum cukup
Jika kita mendalam pendidikan karakter persfektif barat, dapat dipahami bahwasannya apa yang disebut baik dan perilaku baik itu relatif. Nilai baik buruk berubah seiring dengan perubahan kehidupan. Akhirnya pendidikan bukan untuk menanamkan nilai, tapi menggali nilai-nilai yang sesuai dengan nilai mereka yang boleh jadi bersifat lokal. Di Amerika karakter yang ditanamkan di sekolah sesuai dengan latar belakang dan perkembangan sosial dan ekonomi mereka sendiri.
Di Amerika isu sentralnya adalah nilai-nilai feminisme, liberalisme, pluralisme, demokrasi, humanisme dan sebagainya. Maka arah pendidikan karakter di sana adalah untuk mencetak sumber daya manusia yang pro gender, liberal, pluralis, demokratis, humanis agar sejalan dengan tuntutan sosial, ekonomi, dan politik di Amerika. Tapi sangat diherankan mengapa di Indonesia yang problemnya berbeda harus menanamkan nilai-nilai pendidikan karakter tersebut yang belum tentu menjadi solusi atas polemik yang ada. Singkatnya, jika pendidikan karakter di Negara Barat menjadi solusi atas penyimpangan peserta didik, maka di Indonesia belum tentu menjadi solusi yang jitu dengan berbagai kultur dan tradisi yang berbeda. Bahkan di Amerikapun belum menjadi solusi.
Pada tahun 2007 Kementerian Pendidikan di Amerika melaporkan bahwa mayoritas pendidikan karakter telah gagal meningkatkan efektifitasnya. Selanjutnya pada Tahun 2010 sebuah penelitian menemukan bahwa program pendidikan karakter di sekolah-sekolah tidak dapat memperbaiki perilaku pelajar atau meningkatkan prestasi akademik. Hal ini menjadi fakta bahwasannya pendidikan karakter saja belum cukup untuk mewujudkan peserta didik yang berbudi.
Jika ditelusuri lebih mendalam, maka pendidikan karakter barat sekuler memiliki beberapa masalah. Pertama, tidak ada kesepakatan dari konseptor pendidikan karakter tentang nilai-nilai karakter apa yang bisa diterima bersama. Karakter kejujuran, kebaikan, kedermawanan, keberanian, kebebasan, keadilan, persamaan, sikap hormat dan sebagainya secara istilah bisa diterima bersama. Namun, ketika dijabarkan secara detail akan berbeda-berbeda dari satu bangsa dengan bangsa lain. Kedua, ketika harus menentukan tujuan pendidikan karakter terjadi konflik kepentingan antara kepentingan agama dan kepentingan ideologi.
Ketiga, konsep karakter masih ambigu karena – merujuk pada wacana para psikolog – masih merupakan campuran antara kepribadian (personality) dan perilaku (behaviour). Sedangkan problem keempat, arti karakter dalam perspektif Islam hanyalah bagian kecil dari akhlaq. Pendidikan karakter hanya menggarami lautan makna pendidikan akhlaq. Sebab akhlaq berkaitan dengan iman, ilmu dan amal.
Semua perilaku dalam Islam harus berdasarkan standar syariah dan setiap syariah berdimensi maslahat. Maslahat dalam syariah pasti sesuai dengan fitrah manusia untuk beragama (hifz al-din), berkepribadian atau berjiwa (hifz al-nafs), berfikir (hifz al-‘aql), berkeluarga (hifz al-nasl) dan berharta (hifz al-mal). Jadi untuk menyelesaikan persoalan bangsa secara komprehensif tidak ada jalan lain kecuali kita letakkan agama untuk menjaga kemaslahatan manusia dan kita sujudkan maslahat manusia untuk Tuhannya.
Dengan demikian, dapat kita lihat bahwa pendidikan karakter belum sepenuhnya dapat dijadikan rujukan untuk mengatasi masalah pendidikan yang ada di negara ini. Karena hanya menitikberatkan kepada nilai-nilai dan norma-norma kemanusiaan saja. Hanya mencetak manusia yang mengetahui kebaikan (knowing the good), mencintai kebaikan (loving the good), dan melakukan kebaikan (doing the good) kepada sesama makhluk, tapi minim akan ketauhidan ilahiyah. Lebih jauh lagi secara tidak langsung akan menjauhkan kita dari sang Kholiq (Allah). Dalam pendidikan karakter juga menganggap bahwa agama bukan suatu yang mendasar untuk menciptakan manusia yang baik apalagi di negara yang plural. Maka hanya dengan pendidikan karakter saja belum cukup untuk membangun generasi yang berkarakter, justru akan membahayakan bagi aqidah umat Islam.
Di Negara Indonesia yang mayoritas penduduknya beragama Islam ini, sejatinya tidak hanya mendambakan generasi atau pemimpin yang berkarakter saja, melainkan pemimpin yang berkarakter sekaligus berakhlak. Seseorang tidak cukup dengan berdisiplin tinggi, rela menolong, menghargai waktu dan lain-lain yang berdimensi pada hablu minannas saja tetapi ia korupsi, tidak taat beragama, dan yang lainnya yang tidak mencerminkan dimensi hablu minallah. Oleh karena itu perlu keseimbangan antara karakter dan akhlak
Simpulnya, konsep pendidikan tepat untuk diterapkan di Indonesia untuk menanggulangi dekadensi moral adalah pendidikan akhlak. Hal ini dapat diteliti karena ia akan mampu menyempurnakan dimensi social dan agama. Berakhlak sejatinya adalah berpikir, berkehendak, dan berperilaku sesuai dengan fitrahnya (nurani) untuk terus mengabdi kepada Allah. Jadi bukan hanya menjadi manusia baik yang berkarakter tapi juga berakhlak mulia. Generasi yang berakhlak pada hakikatnya ia berkarakter, sedangkan generasi yang berkarakter belum tentu berakhlak. Wallahu a’lam bi al-showab. [AKA]
Artikel Lainnya
-
KETENTUAN LOMBA MENULIS CERITA PENDEK PLP #4
02/03/2018 | Matapena -
7 Poin Penting Di PSSC 2019 Putri
18/08/2019 | Nahdatut-Thullab -
Condong dan Nilai-Nilai Kepesantrenannya dalam Event PPKA 2020
30/07/2020 | Guru Menulis -
Ramadan Produktif, Anggota Ekskul Sastra Matapena Tahun 2021 Luncurkan Buku Kumpulan Sajak (Part 1)
24/04/2021 | Matapena -
Digitalisasi Data di Lembaga Pendidikan
18/04/2020 | Guru Menulis