Pesantren: Jawaban untuk Program Pendidikan Karakter

Ilustrasi: Condong-online/lena sa`yati

Kala itu saya dalam perjalanan pulang dari kelas menuju rumah. Mata saya tertuju pada 2 orang santri yang sedang asyik mencuci mobil pondok. Di samping mereka ada temannya yang sedang menyapu halaman pondok. Ya, mereka adalah harisul ma’had (piket) pada hari itu yang memiliki tugas seabreg, dari mulai menjaga kebersihan pondok, keamanan, dan beberapa tugas insidental lainnya. Terenyuh memang, melihat siswa seumuran SMP memiliki tugas yang cukup berat yang sangat tidak mungkin mereka kerjakan di rumah. Tapi di pesantren ini, tugas-tugas tersebut sudah menjadi paket pendidikan yang diberikan pesantren bagi santri-santrinya.

Terus terang, praktek pendidikan yang terlihat di atas adalah adopsi dari pendidikan karakter yang diterapkan di Pondok Modern Gontor, afiliasi pesantren kami sejak awal pendidiriannya. Bagi kami, pendidikan bukan saja menyimpan santri-santri duduk manis di kelas dan mendapat transfer pengetahuan dari guru-guru mereka. Iya, pendidikan dan pengajaran di dalam kelas sangat penting – dan kami juga menjadikannya hal yang utama, tapi itu saja tidak cukup. Anak-anak kita perlu kita didik bagaimana supaya hidup sederhana, menghilangkan sikap feodal, bekerja keras, bekerjasama dengan rekan-rekan dan pembelajaran hidup lainnya.

Saya kira pendidikan seperti ini sangat jarang kita temui mengingat realitas pendidikan yang berkembang di negeri ini lebih mendewakan aspek kognitif daripada aspek-aspek lainnya. Anak-anak kita dibekali dengan ilmu pengetahuan yang cukup, akan tetapi mereka miskin pendidikan karakter. Coba anda lihat fenomena menyesakkan yang melingkupi perjalanan anak-anak kita di sekolah; tawuran antar pelajar, free sex, narkoba, bullying, genk motor, dan lain sebagainya. Mereka kaya otak, akan tetapi sayangnya miskin hati. Penyebabnya tidak lain, menurut saya, adalah pengkerdilan pendidikan menjadi proses transfer ilmu di dalam kelas saja, melupakan celah-celah lain dari proses pendidikan.

Seperti yang saya paparkan tadi, pendidikan tidak boleh direduksi dengan hanya memberikan peserta didik kesempatan untuk duduk manis dalam sekat kelas, tapi pendidikan memiliki makna dan cakupan yang sangat luas, seluasnya bidang kehidupan manusia. Lembaga pendidikan hendaknya memanfaatkan setiap celah sekecil apapun sebagai bagian dari pendidikan. Pendidikan meliputi apa yang anak-anak dengar, yang mereka lihat dan yang mereka rasakan. Saya kira sungguh tidak bijak, demi alasan efesiensi atau hal lainnya, celah yang seharusnya menjadi kesempatan mendidik anak-anak kita, menjadi hilang begitu saja.

Maka wajar kalau di pesantren kami, dan mayoritas pesantren-pesantren lainnya, santri akan memiliki seabreg aktivitas di luar pembelajaran di dalam kelas dimulai dari aktivitas di dalam asrama, di lapangan, di pramuka, di sanggar seni, di organisasi pelajar sampai kegiatan di dalam unit usaha pesantren. Tentunya itu semua bukanlah tanpa makna karena di dalamnya terkandug pendidikan sosialisasi, sportivitas, leadership, ketekunan, tanggungjawab sampai kewirausahaan.

Ya, benar, di pesantren anak-anak dididik semangat kewirausahaan dengan menempatkan mereka di unit-unit usaha pesantren. Ada yang berjibaku dengan kebutuhan santri di koperasi pelajar, bergelut dengan jasa telekomunikasi dan informasi di wartel dan warnet, sampai bekenalan dengan segala jenis makanan di kantin pelajar. Semuanya itu kami delegasikan ke anak-anak sebagai bagian tak terpisahkan dari proses pendidikan. Yang menjadi catatan: mereka semuanya tidak mendapatkan upah, bahkan tetap harus tetap membayar SPP.

Sekilas kalau dilihat dari sudut pandang materialistik dan mungkin perpektif mayoritas manusia sekarang ini apa yang kami lakukan sangat tidak manusiawi dan bentuk lain dari romusha. Bagaimana tidak, peserta didik ‘dipaksa’ untuk menggerakan roda unit usaha tanpa diberi upah sepeser pun. Mereka harus membagi waktu belajar mereka dengan kegiatan-kegiatan di unit usaha tersebut.

Namun kami tidak memandangnya seperti itu. Seperti yang telah saya utarakan di atas, pendidikan tidak dapat direduksi dengan pembelajaran di dalam kelas saja, tapi hendaknya pendidikan dimaknakan dengan luas, seluasnya bidang kehidupan manusia. Penugasan peserta didik di unit usaha pesantren tersebut adalah bentuk lain dari pendidikan bagi anak-anak. Di dalamnya ada pendidikan kewirausahaan, mental, kejujuran, kerja keras, bekerja sama, menghilangkan sikap feodal dan lain sebagainya. Meskipun unit usaha tersebut mendapatkan profit yang kurang maksimal, dan bahkan ada yang rugi sama sekali, kami tetap mempertahankannya, karena tadi, demi memberikan ruang pendidikan kewirausahaan bagi mereka.

Selain mengelola unit-unit usaha santri juga mendapatkan tugas-tugas berat lainnya. Bagian keamanan OSPC, misalnya, mendapat pendidikan tanggungjawab dalam mengatur roda kehidupan santri selama 24 jam. Haris ma’had lail (Piket malam), haris ma’had nahar (piket siang) yang ditunjuk secara bergiliran mendapatkan pendidikan tanggungjawab, kerja keras dan kesederhanaan dengan menjaga lingkungan pondok selama 24 jam. Santri-santri juga terbiasa mengikuti kerja bakti, bersih-bersih lingkungan pesantren, ngecor, dan lain sebagainya sebagai bentuk pendidikan sosial dan melatih kepekaan sosial mereka.

Pendidikan seperti ini selaras dengan pendapat Dr. KH. Abdullah Syukri Zarkasyi, MA., pembaharu pendidikan Islam di Indonesia, Pimpinan Pondok Modern Darussalam Gontor, yang menyatakan bahwa pendidikan adalah penugasan, pembelajaran, pembiasaan bahkan pemaksaan. Lebih lanjut lagi beliau mengatakan bahwasanya semua yang anak dengar, lihat dan rasakan haruslah bentuk pendidikan.

Ketika bangun tidur pagi hari di sana ada pendidikan disiplin, ketika mengantri di WC atau dapur umum di sana ada pendidikan kesabaran, ketika santri bermain sepak bola di lapangan di sana ada pendidikan sportivitas, dan lain sebagainya.

Kami semakin percaya diri dengan pendidikan yang kami terapkan ketika Prof. M. Nuh, Mendikbud pada era SBY mengarusutamakan pendidikan karakter dalam program kerjanya. Bagi kami, pendidikan karakter yang sebenarnya hanya akan ditemukan di lembaga pendidikan pondok pesantren karena di sana setiap detik tidak akan tersia dan merupakan proses dari pendidikan. Apakah ini yang anda cari bagi anak-anak anda?

Terakhir, selamat hari pendidikan Nasional. Tentunya bergulirnya waktu harus membuat pendidikan di negara kita semakun maju.[]

*Pendidik di pondok pesantren. Peneliti di Ruwada Education Center.

 

Community / Guru Menulis    Dibaca 1.800x


Artikel Lainnya


Beri Komentar

  • TENTANG KAMI

    Majalah condong online seputar berita dan artikel tentang kajian/dunia islam, tips & inspiration, family, event, radio online, dll.

  • CONDONG-ONLINE.COM

  • Pengunjung Website