Digitalisasi Data di Lembaga Pendidikan
Moh Syahrul Zaky Romadhoni, Staf Pengajar di Pondok Pesantren Riyadlul ‘Ulum Wadda’wah Sekolah termasuk institusi yang lamban dalam merespon perkembangan zaman. Lembaga ini disinyalir pro status-quo dan sulit menerima perubahan dalam hal kebijakan pendidikan. Alhasil, banyak yang tumbang di tengah jalan karena tidak jeli membaca zaman. Misalnya, ketika pendidikan kejuruan digalakkan oleh pemerintah banyak SMA swasta gulung tikar. Mereka tidak mampu bersaing dengan gencarnya kampanye pemerintah dalam menggiring putra-putri usia sekolah menengah untuk memilih pendidikan vokasi sebagai usaha pemerintah dalam menekan angka pengangguran dan memajukan bidang industri. Alih-alih berbenah, SMA swasta yang terkena imbas justru fokus pada menyalahkan pihak eksternal, dalam hal ini pemerintah, bukan berpikir bagaimana bersikap kreatif di tengah gempuran tantangan perubahan zaman. Mereka yang masuk kategori ini berguguran di tengah jalan dengan memberikan luka menganga bagi para guru yang telah berjuang selama puluhan tahun. SMK pun bukan tanpa masalah. Ketika kampanye pendidikan vokasi mencapai puncaknya, kini bidang ini mengalami kejenuhan. Beberapa survei menunjukan bahwa pendidikan model ini menyumbang pengangguran terbuka paling banyak dibandingkan dengan institusi lain, bahkan kalah oleh lulusan SMA. Ya, ternyata SMK kita tidak mampu merespon perkembangan zaman dengan menyesuaikan kurikulum mereka dengan dunia industri. Yang terbaru, ketika wabah corona melanda Indonesia, kelihatan bahwa sekolah kita kelabakan dibuatnya. Sekolah kita tergagap untuk melakukan pembelajaran daring karena terbiasa dengan pengajaran konvensional yang menekankan pada pembelajaran tatap muka. Walhasil, pembelajaran daring yang diamanatkan oleh Kemdikbud tidak efektif. Pemerintah pun putar haluan dengan menyediakan pembelajaran melalui media televisi yang dimiliki oleh negara. Kedua contoh di atas menunjukan sekolah kita sangat lambat dalam merespon perkembangan zaman. Apalagi kalau misalnya bicara tentang tren yang menyertai era revolusi industri 4.0 yaitu tentang pentingnya digitalisasi data yang bisa membantu sekolah dalam merumuskan kebijakan-kebijakan yang efektif. Digitalisasi data yang berkaitan erat dengan big data yang merupakan konsekuensi dari maraknya teknologi internet di seluruh dunia. Big data adalah istilah yang menggambarkan volume besar data – baik terstruktur maupun tidak terstruktur – yang membanjiri bisnis sehari-hari. Namun bukan jumlah data yang penting. Apa yang dilakukan organisasi dengan data itulah yang penting. Big data dapat dianalisis demi pemahaman yang mengarah kepada keputusan dan gerakan bisnis strategis yang lebih baik. Dunia bisnis menggunakan big data untuk memahami karakter pelanggan sehingga mereka bisa membuat produk yang terkostumisasi dengan keinginan pelanggan. Dengan strategi ini mereka mampu untuk membuat pelanggan loyal dengan produk yang mereka tawarkan. Selain kostumisasi produk, perusahaan menggunakan hasil analisis big data untuk melakukan strategi marketing produk, sehingga produk yang ditawarkan akan menyasar mereka yang benar-benar membutuhkan. Dengan strategi ini marketing menjadi lebih efektif dan efisien. Lalu apa yang bisa dilakukan oleh sekolah terkait digitalisasi data dan big data? Tentu kita tidak usah muluk-muluk dengan kepemilikan big data oleh sekolah yang selanjutnya bisa digunakan oleh mereka untuk mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang efektif dan efisien. Namun, setidaknya sekolah harus pro-data dalam menjalankan proses pendidikan, sehingga apa yang dilakukan akan tepat sasaran sesuai dengan yang diharapkan bersama. Misalnya, selama ini pemerintah kelabakan dengan hasil UN yang sangat rendah dan jauh dari rata-rata prestasi para siswa di ASEAN, khususnya apabila kita menggunakan standar PISA dan TIMSS. Menurut hemat saya hal ini disebabkan karena sekolah dan guru-guru tidak menggunakan analisis data dalam melaksanakan pembelajaran. Mereka bertindak secara sporadis tanpa mengetahui apa yang sebenarnya terjadi dalam proses pembelajaran, pada anak kita, atau guru kita sehingga menyebabkan prestasi UN kita sangat rendah. Dengan menggunakan analisis data yang benar, sekolah bisa merumuskan suatu kebijakan yang bisa meningkatkan prestasi UN. Tentunya, fokus kita bukan nilai, akan tetapi nilai adalah refleksi dari penguasaan anak-anak kita terhadap pelajaran di kelas. Kita bisa melakukan beberapa langkah dalam hal menelusuri penyebab dari rendahnya prestasi anak di UN. Misalnya, dengan melakukan try out berkala dan menganalisis kelemahan anak secara berkala. Beberapa aplikasi ujian memungkinkan guru-guru untuk menganalisis butir soal sehingga guru bisa mengetahui mana yang harus diperkuat ketika melakukan pembelajaran. Hal lainnya yang bisa sekolah lakukan adalah dengan memonitor pembelajaran. Sekolah harus memiliki data sejauh mana guru-guru kita melaksanakan pembelajaran yang efektif. Hal yang bisa kita lakukan adalah dengan melakukan digitalisasi penulisan lesson plan, merekam sampel pembelajaran guru, mengecek kualitas evaluasi yang mereka berikan, dan lainnya. Dari analisa data tersebut sekolah bisa mengetahui sejauh mana efektivitas strategi pembelajaran yang guru lakukan, kesahihan materi yang mereka berikan, dan efektivitas evaluasi dalam mengontrol perkembangan anak. Melalui proses ini sekolah memiliki data untuk melakukan pembinaan guru secara berkala. Data lain yang perlu didigitalkan adalah konten pembelajaran. Sudah saatnya kita mendukung anak-anak kita untuk belajar borderless tanpa tersekat oleh empat dinding ruangan kelas. Guru-guru harus terbiasa menyediakan konten pembelajaran yang mereka upload di LMS (Learning Management System) sehingga memungkinkan anak untuk belajar kapanpun, di manapun. Sekolah bisa juga merekam data dari orang tua sebagai user jasa. Sekolah bisa merekam data demografi orang tua; harapan, alasan, dan motivasi mereka menyekolah anak ke sekolah. Apabila sekolah mampu menangkap data ini dan mampu memenuhi harapan mereka, maka mereka akan puas dan merekomendasikan sekolah kita ke orang-orang di sekitar mereka. Dengan ini mereka bisa menjadi agen marketing kita yang gratis dan efektif. Khusus untuk lembaga pendidikan pesantren, yang mewajibkan siswanya tinggal selama 24 jam di kampus, digitalisasi data dapat digunakan untuk merekam kehidupan mereka sehari-hari, dimulai dari tidur sampai tidur lagi. Sekolah harus memiliki data kebiasaan santri, sehingga kalau ada santri yang tidak betah, lembaga bisa memperbaikinya dengan cepat. Apabila ini bisa dilakukan dengan baik, maka tingkat kenyamanan anak akan semakin tinggi dan efektivitas pembelajaran akan semakin baik. Kita berharap sekolah-sekolah kita semakin sadar akan pentingnya data dalam implementasi praksis pendidikan, sehingga menjadikan kebijakan pendidikan lebih efektif dan tepat sasaran. []
Artikel Lainnya
-
HARDIKNAS: Pendidikan Karakter Saja Belum Cukup! Part 1
02/05/2017 | Guru Menulis -
Komunitas Sastra dan Kepenulisan Gelar Sarasehan Sastra
22/09/2017 | Matapena -
Insya Usbu’ain: Merangkai Kata dengan Bahasa Asing
21/09/2017 | Nahdatut-Thullab -
KETENTUAN LOMBA MENULIS CERITA PENDEK PLP #4
02/03/2018 | Matapena -
Nilai Tarbiyah Amaliyah; Amanatul Ilmi Wal Ulama`
08/01/2020 | Guru Menulis