Infiltrasi Sekularisme Terhadap Sistem Politik Indonesia
Oleh: Sarah Fadhilah*
Definisi politik perspektif Islam dan barat sangatlah berbeda. Secara etimologis politik berasal dari bahasa Yunani, yaitu "polis" yang berarti kota atau negara kota. Dari kata polis ini diturunkan kata-kata lain, seperti "polites" (warga Negara) dan "politikos" (kewarganegaraan) atau civice, kemudian istilah tersebut berkembang menjadi "politike techene" untuk kemahiran politik dan "politike episteme" untuk ilmu politik. Sedangkan secara terminologi politik adalah interaksi antara pemerintah dan masyarakat dalam rangka proses pembuatan dan pelaksanaan keputusan yang mengikat tentang kebaikan bersama masyarakat yang tinggal di suatu wilayah tertentu. Lain halnya dengan definisi politik dalam perspektif islam. Secara etimologi politik adalah "syiyasah" yang berarti strategi atau trik. Sedangkan secara terminologi politik adalah pengurusan kemaslahatan umat manusia sesuai dengan ketentuan syara’.
Simpulnya politik merupakan salah satu wadah yang berfungsi untuk mewujudkan kemaslahatan masyarakat negaranya. Ajaran Islam mewajibkan ummatnya untuk berpolitik dengan tujuan memperjuangkan islam dengan cara menyebarkan dakwah islamiyyah kepada orang-orang kafir diseluruh dunia dan melakukan "amar ma’ruf nahyi munkar", termasuk kepada penguasa. Hal ini sesuai dengan penegasan Allah SWT di dalam Q.S Al-Imran (3):104. Berbeda dengan sistem politik demokrasi, khususnya demokrasi yang ada di Indonesia.
Dalam islam, kekuasaan hanya terletak di satu tangan, yaitu kepala Negara. Sedangkan dalam sistim demokrasi, kekuasaan terdapat pada pimpinan partai politik. Sedangkan syiyasah dalam islam seorang politikus aktif dalam partai politik tetapi tidak terlibat dalam suatu kekuasaan. Ia mempunyai tugas besar bersama partainya, yaitu amar ma’ruf nahi munkar muhasabah kepada penguasa agar kepentingan umat tetap terpelihara. Jika kita memperhatikan politik di Indonesia dewasa ini, sistem demokrasi yang dilaksanakan sangatlah berbeda. Pada umumnya disini lebih membahas pada sub-struktur (misalnya, adanya lembaga demokrasi, lembaga peradilan, dsb) dan tujuannya (seperti keadilan, pemeberdayaan rakyat, musyawarah, dsb). Sehingga implementasi politik hanya sekedar struktural.
Pertanyaannya, apakah politik-politik yang ada di Indonesia sudah menjalankan tugas dan fungsinya dengan baik? Tidak dapat kita pungkiri, bahwa mayoritas penduduk di Indonesia adalah muslim, namun siapakah yang menguasai sistem pemerintahan di Indonesia? Sistem pemerintahan di Indonesia sudah terkontaminasi oleh pengaruh worldview barat, walau kita tahu bahwa Indonesia masih menganut sistem belanda “Dutchrecht”. Dinamika politik saat ini adalah infiltrasi sekularisme. Yaitu suatu ideologi yang didalamnya terdapat cara hidup yang mengandung paham atau doktrin, tujuan, dan sikap hanya dalam batas dunia.
Segala sesuatu dalam kehidupan sekularis tidak ditunjukkan kepada apa yang melebihi batas keduniaan. Sehingga ia mendikotomikan segala sesuatu dan tidak mengenal agama bahkan Tuhan sekalipun. Menurut Harvey Cox, terdapat tiga pilar sekularisme yang menjadi fondasi Negara barat modern, yaitu: Pertama, "Dischantment of nature" yaitu pengosongan dunia atau kehidupan dari pengaruh-pengaruh ruhani dan agama. Kedua, "Desacralisation of politics" yaitu penyingkaran wilayah politik dari pengaruh nilai-nilai ruhani dan agama. Ketiga, "Deconsecration of values" yaitu penolakan terhadap adanya kebenaran mutlak. Tiga pilar diatas sangat berpengaruh dalam sistem ketatanegaraan di Indonesia dan sudah menjamur. Jika faham ini terus berkembang maka tunggulah kehancurannya. Sesuai dengan kaidah usul fiqh mengatakan: “idza wusidal amru min goiri amrihim fan tadziris sa’ah”. Jika dalam politik sekuler yang berkuasa adalah manusia pemegang politik tersebut, maka dalam Islam yang berkuasa tetaplah Allah SWT. Indonesia adalah negara religius yang tidak menerapkan sistim atau pilar sekularisme.
Tahir Azhary dalam disertasinya menyebutkan bahwa Negara Indonesia memiliki ciri-ciri sebagai berikut: 1) Mengakui hubungan erat antara agama dan Negara. 2) Mengakui eksistensi Tuhan dalam praktek kenegaraan. 3) Kebebasan beragama dalam arti positif. 4) Menolak konsep "ateisme". 5) Menganut asas kekeluargaan dan kerukunan. Simpulnya, pemerintah dan masyarakat seyogyanya bersemangat untuk membangun sistem kenegaraan yang baik berlandaskan Islam, Iman dan Ihsan. Seorang penguasa Negara bekerja sesuai amanah dan tugasnya, tidak mencampakkan kepercayaan masyarakat dan selalu berlaku adil dalam berbagai kebijakan. Jika hal ini di implementasikan, maka sejatinya secara struktural bangsa Indonesia telah menolak faham sekularisme dan konsep individual liberalistik sekular barat yang bertentangan dengan identitas dan kultur Indonesia.
*Mahasiswi Prodi Ilmu Hukum Fak. Hukum Universitas Muhammadiyah Yogyakarta Semester IV
Editor: Agus Riyadi, S.Pdi (Postgraduate Program UNIDA Gontor)
Artikel Lainnya
-
Ciri-ciri Masyarakat Madani
23/01/2017 | Nasional -
Fatih Seferagic, Berbagi Kiat Suksesnya Menghafal Al-Quran
12/11/2016 | Nasional -
Refleksi Fenomena Ibu Kota
26/02/2017 | Nasional -
Menikah di Katedral Saat Aksi 112, Pengantin Ini Dipayungi FPI
27/02/2017 | Nasional -
Aksi "Today I am a Muslim Too" di New York
10/02/2017 | Internasional