Oksidentalisme Perspektif Hasan Hanafi

 


Dok : CONDONG-ONLINE.COM

Oleh: Nida Husna Abdul Malik*

Editor: Agus Riyadi, S.Pd.I,**

Secara etimologi oksidentalis berasal dari bahasa latin (occident; occido; occidere)

Yang berarti turun, memukul, menghancurkan, terbenam, barat dan senja. Kemudian berkembang menjadi occidentalism yang berarti watak, cultur, adat istiadat. Sedangkan secara terminologi oksidentalis adalah teori dan ilmu tentang agama, kebudayaan dan peradaban barat. Singkatnya oksidentalisme adalah ilmu tentang ideologi atau faham kebaratan.

Selanjutnya oksidentalis sebagai sebuah istilah dan disiplin keilmuan diperkenalkan oleh seorang cendekiawan Muslim asal Mesir. Hanafi mengatakan bahwa oksidentalisme muncul untuk mengurai kesadaran yang terbelah antara the other (Barat) dan ego (Islam). Sejauh ini Barat telah banyak melakukan kajian terhadap  Islam yang dikenal luas sebagai studi Orientalisme. Menurutnya, Barat mengidap superiority complexs sehingga kajian para orientalis tersebut mengandung muatan ideologis.

Latar belakang tumbuhnya Orientalisme sendiri didorong oleh kebutuhan negara-negara Barat untuk memahami Islam dan masyarakatnya serta peradabanya. Kebutuhan tersebut juga seiring dengan upaya penundukkan inferior. Karena itu Oksidentalisme dimaksudkan untuk mengembalikan Barat pada posisinya. Kelahiran Oksidentalisme juga dipicu oleh dominasi kajian Barat terhadap Islam dan adanya ketimpangan akibat westernisasi yang berpengaruh luas tidak hanya pada budaya dan konsepsi tentang alam, tapi juga mengancam kemerdekaan peradaban manusia, karena Selama ini Barat menilai dirinya sebagai peradaban yang pluralis, humanis, dan modern. Sedangkan peradaban Islam disamping kelebihannya yang juga diakui Barat memerlukan pertolongan Barat agar dapat maju seperti peradaban Barat. 

Hadirnya oksidentalisme bertujuan menguraikan inferioritas hubungan Timur dan Barat, menumbangkan superioritas Barat dengan menjadikannya objek kajian dan melenyapkan inferioritas Timur dengan menjadikannya sebagai subjek pengkaji. Secara historis terdapat perbedaan antara Orientalisme dan Oksidentalisme, dimana Orientalisme muncul di tengah ekspansi imperialisme Eropa pada abad ke-17 yang kemudian berkembang membawa paradigma riset ilmiah dan aliran politik yang tidak bersifat netral karena banyak didominasi struktur kesadaran Eropa. Sedangkan oksidentalisme cenderung berupa upaya pembebasan tanah air dan belum mengembangkan bentuk apapun hingga berposisi netral karena tidak memburu kekuasaan dan hak kontrol.

Pada tataran konseptual, Oksidentalisme berusaha memahami Eropa secara holistis (menyeluruh) mengenai sejarah kelahiran dan perkembangannya, serta meletakkan Eropa dalam batas geografis dan demografisnya. Oksidentalisme mendambakan terhapusnya budaya kosmopolit yang dipropagandakan Barat dan menemukan jati diri sebuah bangsa dengan ciri khasnya. Oksidentalisme menawarkan kesadaran bahwa setiap bangsa memiliki tipe peradaban dan kesadarananya sendiri, hal ini membuka jalan bagi terciptanya inovasi bangsa non Eropa dan membebaskannya dari pengaruh Eropa yang menghalangi nuraninya, sehingga mereka dapat berpikir dengan akal dan dalam kerangka lokalnya sendiri.

Secara epistimologis, Oksidentalisme berupaya mengakhiri hegemoni Orientalisme dan mengembalikan status Timur dari sekedar monumen yang dikaji menjadi manusia yang mengkaji. Lebih dari itu, Oksidentalisme juga menjelma sebagai ilmu pengetahuan yang akurat serta membentuk peneliti yang mempelajari dan menyelami peradabannya dengan worldview Islam dan mengkaji peradaban lain secara lebih netral dan seimbang serta objektif. Sehingga dengan Oksidentalisme manusia akan mengalami era baru yang menampilkan rasialisme sebagai penyakit yang harus dimusnahkan yang selama ini terpendam dan menjadi borok nafas peradaban yang dihembuskan bersama kesadaran Eropa.

Selain itu, Oksidentalisme bertujuan mengakhiri mitos bahwa Barat sebagai representasi seluruh umat manusia serta sebagai pusat kekuatan dan penentu modernitas,  menghapus eurosentrisme dan menjelaskan bagaimana kesadaran Eropa mengambil posisi tertinggi sampai pada tahap hegemoni di sepanjang sejarah. Selanjutnya, Oksidentalisme juga mengembalikan kebudayaan Barat ke batas alamiahnya setelah selama kejayaan Imperialisme menyebar keluar melalui penguasaan teknologi media informasi, pusat penelitian ilmiah dan media penakluk lainnya. Oleh karena itu seorang oksidentalis harus bersikap balance dalam menggali dan menilai keilmuan di Peradaban Barat.

Pada hakikatnya, oksidentalisme hadir sebagai bentuk reaksi dari keberadaan Orientalisme. Hal ini terjadi dalam kurun waktu antara abad ke-17 sampai abad ke-20 telah memposisikan Barat sebagai Subjek pengkaji Timur hingga menimbulkan stereotipe psikologis yang luar biasa parah, antara lain rasa superioritas Barat karena mereka selalu mensubyekkan diri, sebagai pengamat. Sebaliknya Timur yang selalu dijadikan obyek kajian dan bahkan sasaran penjajahan Barat lalu merasa inferior. Jika hubungan superior-inferior ini dipelihara terus, maka sejatinya tidak saja berakibat pada ketidakharmonisan Barat-Timur selama berabad-abad, tapi juga memperkeruh komplikasi sejarah dalam konflik peradaban.

Sebagai bentuk reaksi tersebut Para Oksidentalis mengambil sikap bahwa ekspansi kolonialisme Barat yang tanpa batas harus segera dihentikan. Perang kebudayaan pun mesti cepat-cepat diakhiri, lalu kebudayaan dan peradaban Barat dikembalikan ke wilayah geografis dan historisnya dengan menghapus rasa inferior dunia Islam dengan superior dunia Barat.

Dalam hal ini Hasan Hanafi mengilustrasikan bahwa yang terpenting adalah  “mengakhiri orientalisme” dalam pengertian mengubah status Timur dari sekedar obyek menjadi subyek. Artinya Timur sebagai subyek sedangkan Barat yang dijadikan obyek kajian. Bahkan lebih dari itu, oksidentalisme juga dapat mengubah peradaban Barat dari kajian-obyek menjadi obyek-kajian dengan melacak sejarah, sumber, lingkungan, awal, akhir, kemunculan, perkembangan, struktur, dan keterbentukan peradaban Barat.

Hanafi juga mempunyai harapan bahwa pembebasan diri dari dominasi pihak lain yang selama ini dicita-citakan proyek Oksidentalisme dapat tercapai. Hal ini dapat dikembangkan dengan memunculkan  “harmoni kebudayaan-peradaban” antara al-ana (yakni, “saya”, umat/dunia Islam) dengan al-akhar (the other, pihak lain, Barat/Eropa Kristen).  Harmoni tersebut perlu dilestarikan terus terutama dari sudut pandang ontologisnya. Misalnya, seperti dilukiskan begitu indah oleh Hasan Hanafi, “membebaskan ego dari kekuasaan the other pada tingkat peradaban, agar ego dapat memposisikan dirinya sendiri secara bebas.”

Menurut hemat penulis, perlu mendalami tradisi keilmuan barat (oksidental) dengan pemahaman Islam yang kuat. Karena itu menjadi modal utama untuk mendalami keilmuan dalam peradaban barat. Banyak orang oksidentalis menjadi liberal, sekuler dan humanis karena kurang kuatnya keimanan dalam hatinya dan memahami Islam hanya sekedar agama dan ritual, padahal Islam pada hakikatnya adalah cara pandang atau worldview. Alhasil, jika seorang oksidentalis dg imannya yang kuat mempelajari peradaban barat, maka sejatinya ia akan mampu melakukan dewesternisasi, integrasi dan islamisasi terhadap keilmuan kontemporer barat sekuler. Wallahu A`lam Bisshawab

*Mahasiswa Prodi Aqidah dan Filsafat UNIDA Gontor

**Mahasiswa Prodi PBA Program Pascasarjana UNIDA Gontor

 

Dunia Islam / Nasional    Dibaca 4.101x


Artikel Lainnya


Beri Komentar

  • TENTANG KAMI

    Majalah condong online seputar berita dan artikel tentang kajian/dunia islam, tips & inspiration, family, event, radio online, dll.

  • CONDONG-ONLINE.COM

  • Pengunjung Website